DEVOSI KEPADA TRITUNGGAL
DEVOSI KEPADA TRITUNGGAL
Kita orang-orang Kristiani, cenderung memperlakukan
Tritunggal sebagai suatu tanda baca (titik) pada akhir kalimat. Kita memanggil
nama Tritunggal Yang Mahakudus apabila kita membuat tanda salib pada awal doa
kita. Kita mengakhiri doa kita dengan cara yang sama atau dengan Kemuliaan,
yang merupakan doa trinitaris. Tetapi di luar itu, kita tidak meluangkan banyak
waktu untuk berpusing-pusing mengenai satu Allah yang adalah tiga pribadi.
Siapa dapat mempersalahkan kita? Ini adalah misteri yang terlalu dalam bagi
setiap orang untuk didugai; maka mengapa kita harus bersusah-susah memusingkan
diri mengenai hal ini?
Saya ingat akan seorang ibu guru katekismus yang meminta
kepada murid-muridnya untuk menjelaskan apa arti nya misteri. Seorang cowok
kecil mengangkat tangannya dan berkata, “Oh itu sesuatu yang harus kita
percaya, meskipun kita tahu bahwa itu tidak benar.”
Tentu saja kita dapat bersimpati dengan jawaban si cowok
yang konyol itu. Tetapi kita tidak boleh membenarkan alasannya. Sebab kita tahu
bahwa misteri Tirunggal itu benar. Sungguh misteri Tritunggal adalah hal yang
paling benar yang dapat kita ketahui. Jauh dari sekedar tnda baca yang
mengawali dan mengakhiri doa kita. Tritunggal itu merupakan rangkuman, sari
pati,subyek dan obyek dari doa kita. Camkanlah apa telah dikatakan oleh KGK
mengenai Tritunggal.
KGK-234
|
Misteri Tritunggal
Mahakudus adalah misteri sentral dalam iman dan kehidupan Kristen. Misteri
Tritunggal adalah misteri mengenai jati diri Allah sendiri. Karena itu misteri
ini merupakan dasar dari semua misteri iman yang lain dan cahaya yang
meneranginya, Misteri Tritunggal adalah misteri yang paling dasariah dan
hakiki dalam”hierarki kebenaran iman.” Seluruh sejarah keselamatan itu
identik dengan sejarah yang memaparkan cara dan sarana yang digunakan oleh
Allah yang satu dan benar – Bapa, Putra dan Roh Kudus – untuk mewahyukan Diri
kepada manusia dan untuk memperdamaikan serta memperstukan semua orang yang
berbalik dari dosa.”
|
Tritunggal
adalah dasar dari semua masa, realita sentral dari setiap pesta Gereja dan
sumber dari semua misteri serta devosi yang lain. Semua sakramen dan semua
liturgi Katolik bertutur mengenai Tritunggal Yang Mahakudus.
Jadi
mengapa kita melangkah penuh kebimbangan menghampiri miseri ini, atau mengapa
kita bergegas melewatinya seolah-olah Tritunggal itu hanya formalitas?
Saya
yakin, permasalahan dasariah kita adalah cara kita berpikir mengenai “misteri”.
Kita cenderung melihat misteri dengan cara yang selalu matematis; misteri
merupakan masalah yang sedemikian kontradiktoris sehingga tidak pernah dapat
dipecahkan. Ajaran mengenai Tritunggal memang menyajikan sesuatu yang tampaknya
kontradiktif. Ajaran itu mengatakan kepada kita bahwa tiga sama dengan satu.
Tetapi kita harus memercayainya atau, kalau tidak, kita kehilangan nama
Kristiani sehingga kita harus menerima danmenolak yang sudah ada.
Tetapi
misteri bukanlah matematika. Kiranya akan lebih menolong untuk melihat misteri,
dengan mengaitkannya dengan perkawinan, atau relasi insani mana pun yang
sungguh mendalam. Kita tidak pernah dapat “melukiskan” pasangan, tetapi jelas kita dapat bertumbuh
dalam cinta, pengetahuan, dan pemahaman mengenai pasangan itu.
Tritunggal
adalah relasi kasih yang kita harapkan dapat kita pahami untuk selama-lamanya
di surga. Jikalau kita tidak bertumbuh dalam kasih terhaap misteri ini, kita
tidak akan beranjak sedikit pun untuk semakin mendekati surga. Dan kalau itu
yang terjadi, maka iman kita semu belaka. Dan kita kehilangan butir utama dari
“seluruh ejarah keselamatan,” yang tidak lain adalah pewahyuan mengenai Allah
Tritunggal.
Allah
Bapa mengutus Putra sehingga kita dapat menerima Roh. Mengapa demikian?
Camkanlah: Allah menjadi seperti kita, supaya kita dapat menjadi seperti Dia.
Ia mengambil kodrat kita, supaya kita dpat ambil bagian dalam kodratNya. Surga
tidak lain adalah sharing seperti itu, persekutuan seperti itu, dan sharing
serta persekutuan itu sudah dimulai ketika kita dibaptis.
Kata
Tritunggal tidak tampak dalam Alkitab. Tritunggal adalah istilah teologis yang
dikemas oleh orang-orang kristiani untuk melukiskan realita yang ada pada
jantung pewahyuan ilahi. Injil St Matius diakhiri dengan amanat Yesus bagi para murid-Nya untuk membaptis
“dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus” (Mat. 28:19). Kalimat ini sulit
dipahami karena brbicara mengenai satu “nama” tetapi kemudian dengan jelas
menyebut tiga pribadi. Santo Paulus menampilkan misteri yang sama ketika ia
memaklumkan salam yan gkita gunakan dalam Misa, “Rahmat Tuhan kita Yesus
Kristus, cinta kasih Allah, dan
persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2Kor 13:14).
Sungguh
bagi Santo Paulus, setiap segi dari agama Kristiani berkaitan dengan misteri
Tritunggal. Camkanlah tulisannya mengenai berdoa. Paulus mulai dari suatu
pengandaian yang dikuatkan oleh pengalaman, sekurang-kurangnya juga dalam
pengalaman saya: “karna, sesungguhnya, kita tidak tahu bagaimana harus
berdoa” (Rm 8:26). Ini adalah masalah
yang sungguh nyata: kita ingin berbicara dengan Allah yang sama sekali berbeda
dari kita. Bagaimana kita dapat menemukan bahasa yang sama? Di mana kita harus
mulai?
Kita
mempunyai satu bahasa yang sama sebab Allah telah memberikan kepada kita
Sabda-Nya yang kekal. Kita berdoa dalam Kristus dan kita berdoa dengan kuasa
Roh-Nya. Sungguh Roh Kristus sendiri berdoa bagi kita dengan keluhan-keluhan
yang tidak terucapkan” (Rm 8:26). Doa Kristiani sendiri menjadi bukti dari
kehidupan yang telah kita miliki berkat pembaptisan. “Roh itu bersaksi
bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah” (Rm 8:16).
Bagi Santo Paulus, kita sekarang hidup “dalam Kristus” (Rm 8:16), dan karena
itu kita dapat berbicara kepada Bapa, dalam segala kebenaran, bersama Roh Sang
Putra. Kita dapat memanggil-Nya “Abba! Bapa!” dan memang itu maksudnya, dan
dengan itu kita mengucapkan kebenaran.
Kita
telah dimasukkan ke dalam kehidupan Tritunggal, juga sekarang. Kita tidak usah menunggau untuk
kelak berada di surga. Surga sendiri sudah turun kepaa kita – meskipun kita
masih menunggu hari penggenapannya, yakni pada saat kita akan menjadi sama
seperti Dia, karena kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenar-Nya
(lihat 1 Yoh 3:2). Maka, semua doa adalah trinitaris, dan bukan hanya awal
serta akhirnya.
Bahkan
bagi St Paulus, seluruh moralitas kita pun bersifat trinitaris, karena setiap
tindakan kita mesti mengungkapkan persekutuan kita dengan Allah. Sungguh, setiap pertimbangan Kristiani
mengenai setiap masalah religius mesti menemukan dasarnya dalam Tritunggal,
meskipun dasar itu seringkali diandaikan dan tidak terucapkan.
Tetapi
dalam doa kita senantiasa mengucapkannya dan tidak hanya dalam Tanda Salib dan
Kemuliaan.
Lebih-lebih
dalam Misa, begitu banyak doa mengingatkan kita mengenai misteri Tirtunggal.
Misa sendiri adalah suatu doa trinitaris; dalam Roh, kita menyatukan diri
dengan Sang Putra yang mempersembahkan diri kepada Bapa. Kita membuat Tanda
Salib dan memaklumkan salam Santo Paulus. Kita mengucapkan doa denga tiga ayat,
misalnya Kyrie dan Sanctus, yang biasa juga disebut “madah tri kudus.” Kita
mengulangi “kasihanilah” dan “kudus” tiga kali bukan sekedar untuk penekanan.
Secara tersirat kita berseru kepada Tritunggal. Dan kita mengucapkannya dengan
sedemikian eskplisit dalam doa-doa Misa yang lain, seperti Madah Kemuliaan dan
Syahadat Nikea.
Panggilan
kita sebagai orang kristiani adalah paanggilan Trinitaris. Tritunggal adalah
misteri yang ada di jantung iman kita, dan Allah menghendaki kita
menempatkannya di jantung kehidupan kita. Tetapi Ia sedemikian berbeda dari
kita sehingga sulit bagi kita untuk bahkan mulai menatap kehidupan batin-Nya.
Tentu saja sangatlah menolong bahwa Ia telah menjadi manusia demi keselamatan
kita.
Tetapi,
apa ada jalan lain untuk dapat masuk lebih dalam ke inti misteri ini? Paus
Yohanes Paulus II menyarankan agar kita mulai dengan mengingat hubungan yang
kita kenal dengan sangat baik yaitu kehidupan keluarga. Sebab “pola dasar
keluarga justru harus ditemukan dalam Allah sendiri, dalam misteri hidup Allah
yang trinitaris. ‘Kita ‘ yang ilahi adalah pola abadi dari ‘kita’ yang insani,
khususnya ‘kita’ yang dibangun oleh laki-laki dan perempuan yang diciptakan
dalam rupa dan gambar Allah.” Paus yang sama merumuskan masalah ini dengan
lebih padat lagi ketika ia berkata: “Dalam misteri-Nya yang paling dalam, Allah
bukanlah suatu kesendirian tetapi suatu keluarga, yang hakikatnya adalah
kasih.”
Barangkali kita akan
mulai mengenal Allah, keluarga ilahi yang abadi, apabila kita dengan khusyuk
merenungkan seperti apa seharusnya keluarga di bumi ini.
Kita
diciptakan demi kasih. Apabila kita mengalami kasih dalam kehidupan keluarga,
itulah surga, tetapi itu barulah gambaran dari kemuliaan yang lebih besar yang
akan kita nikmati di surga, suatu kemuliaan yang bahkan sudah kita maklumkan
sekarang: Kemuliaan kepada Bapa dan Putra dan Roh Kudus, seperti pada permulaan,
sekarang, selalu dan sepanjang segala abad. Amin!
Sumber: Hahn, Scott. 40 SIGNS of LIFE; (Terj. Ernest Maryanto);
Malang: Dioma, 2011.
Komentar
Posting Komentar