SAKRAMEN TOBAT SEBAGAI SAKRAMEN PENYEMBUHAN DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN PENGHAYATAN IMAN UMAT
SAKRAMEN TOBAT SEBAGAI SAKRAMEN PENYEMBUHAN
DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN PENGHAYATAN IMAN UMAT
OLEH BERMAN MANULLANG.S.Ag
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Dalam dekade tahun
terakhir ini, penghayatan umat terhadap Sakramen Tobat begitu pudar seiring
dengan perkembangan zaman yang mempengaruhi pola pemikiran yang berdampak juga pada tingkah laku umat.
Semakin hari, semakin sedikit umat yang menerima Sakramen Tobat. Anehnya jumlah
umat yang menerima komuni kudus tetap saja banyak. Agaknya, banyak umat
menyambut komuni tanpa perlu merasa mengaku dosa lebih dahulu.
Tahun 1973, terbit ritus
Sakramen Tobat yang derevisi. Dalam ritus baru ini terdapat beberapa ide baru
yang berguna. Di antaranya adalah kemungkinan dimasukannnya doa spontan dalam
pengakuan dosa. Dalam bagian ini, tidak hanya peniten yang dapat mengucapkan
doa tobat secara spontan. Doa spontan yang dapat ditambahkan imam, yang kiranya
berguna bagi peniten adalah doa penyembuhan. Doa ini sangat berguna bagi
peniten, berada dalam pengaruh roh jahat. Tentu saja berkat penyembuhan Yesus
Kristus, diharapkan bahwa doa itu dapat menyembuhkan peniten, dapat
menegubah hidupnya menjadi lebih baik, hidup sehat, hidup penuh dalam kasih
karunia Allah.[1]
Tentang keadaan Sakramen
Tobat, Pastor M. Scanlan berkata, “Dewasa ini Sakramen Tobat telah jatuh dalam kesia-siaan yang semakin
besar. Pentingnya Sakramen ini secara umum tidak dilihat lagi, baik oleh imam
maupun oleh umat.[2] Dari pernyataan ini, orangtahu
bahwa Sakramen Tobat sebetulnya merupakan suatu kesempatan yang baik bagi umat
untuk membicarakan masalah-masalah emosional dan rohani mereka kepada seorang
imam. Dalam tobat inilah seorang akan
mengalami penyembuhan. Ironisnya ketika Sakramen ini menjadi media yang
membantu umat dalam meningkatkan iman akan Allah, Sakramen ini diabaikan begitu
saja. Orang salah memahami tentang arti dosa itu sendiri. Dosa pada dasarnya
bukan hanya masalah sikap acuh tak acuh, tidak peduli, dan pelanggaran terhadap
hukum dan perintah-perintah Allah sebagaimana terdapat di dalam Kitab Suci dan
ajaran Gereja, melainkan juga perusakan, pemutusan hubungan dengan Allah,
dengan sesama, dengan alam, bahkan dengan diri sendiri.
Zaman sekarang akibat
arus perkembangan teknologi dan informasi yang berkembang pesat dan sifatnya
yang serba instan, di mana manusia hanya siap mengkonsumsi tanpa memeras
keringat atau berjuang untuk menghasilkan sesuatu yang baru karena teknologi
dan informatika sudah menyediakan baginya apa yang dia inginkan. Semisal, untuk
zaman sekarang seorang pelajar atau mahasiswa tidak perlu membaca buku untuk
membuat makalah atau artikel tertentu karena semuanya sudah terdapat dalam
internet (dunia maya) tinggal mengcopynya saja. Manusia hidup dalam suatu dunia
modernisasi, yakni suatu dunia yang menghantar manusia pada sebuah pola
pemikiran yang radikal akan esensi dan eksitensinya sebagai penguasa alam
semesta tanpa menyadari bahwa Tuhanlah yang empunya semuanya itu. Inilah pola
pemikiran antropormorfis yang sedang membalut pola pikir
manusia. Eksistensi Tuhan sebagai Pencipta dan penguasa alam semesta diabaikan,
seolah-olah Tuhan itu hanyalah sebuah cerita mitos yang fiktif belaka. Apakah
argument ini sebuah kebenaran? Bertolak dari kenyatan ini, penulis berusaha mengkaji kembali
peranan Sakramen Tobat dalam meningkatkan pemahaman dan penghayatan iman umat
akan jati dirinya sebagai hasil ciptaan Tuhan yang diciptakan seturut citra-Nya
sendiri, yang walaupun makhluk mulia namun ia tidak sempurna seperti Tuhan.
1.2 Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang penulisan di atas maka ada beberapa permalasahan yang dapat dirumuskan
antara lain:
a. Apa
itu sakramen tobat?
b. Bagaimana
sejarah perkembangan praktek Sakramen Tobat Dalam Gereja Katolik?
c. Adakah
faktor yang menghambat perkembangan Sakramen tobat dalam meningkatkan pemahaman
dan penghayatan iman umat?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah di atas adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
a) Membantu
meningkatkan pemahaman iman umat akan pentingnya peranan Sakramen Tobat dalam
menunjang kehidupan iman umat Kristen Katolik.
b) Para
imam disadarkan untuk memberikan pelayanan Sakramen Tobat secara memadai kepada
umat gembalaannya.
c) Sebagai
manusia yang berakal budi, orang disadarkan untuk menyadari eksistensi Allah
yang begitu mencintai umat yang telah Ia
ciptakan, walaupun umat yang ia kasihi berbuat kesalahan atau dosa.
d) Bagi penulis sendiri adalah membuka wawasan penulis
akan pentingnya Sakramen Tobat sebagai sakramen penyembuhan dalam kehidupan
umat kristen katolik dan juga sebagai salah satu persyaratan dalam penulisan
skripsi.
1.4 Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis
menggunakan metode kepustakaan di mana penulis membaca buku-buku yang
berhubungan dengan Sakramen Tobat sebagai sakramen penyembuhan untuk
menyelesaikan tulisan ini.
1.5 Sistematika Penulisan
Keseluruhan karya tulis ini diuraikan dalam
empat pokok bahasan. Pokok-pokok bahasan yang dimaksudkan adalah:
BAB I berisikan latar belakang penulisan, perumusan masalah,
tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II berisikan penjelasan tentang pengertian Sakramen dan Sakramen
Tobat, perkembangan praktek sakramen tobat dalam Kitab Suci, sejarah
perkembangan praktek sakramen tobat, sikap-sikap penting dalam sakramen tobat,
peran-peran dalam sakramen tobat.
BAB III berisikan penjelasan tentang sakramen tobat sebagai
sakramen penyembuhan, peranan sakramen tobat dalam meningkatkan pemahaman dan
penghayatan iman umat, kesejajaran antara psikoterapi dan sakramen tobat,
factor-faktor penghambat sakramen tobat, catatan kritis penulis.
BAB IV berisikan kesimpulan umum atas keseluruhan tulisan ini
dan usul saran yangn penulis tawarkan untuk menunjang penghayatan iman umat
akan pentingnya sakramen tobat.
BAB II
PERKEMBANGAN PRAKTEK SAKRAMEN TOBAT DALAM
GEREJA KATOLIK
2.1 Pengertian Sakramen dan Sakramen Tobat
2.1.1 Pengertian Sakramen
a. Secara Etimologis
Sakramen adalah
ritus Agama Kristen yang
menjadi perantara (menyalurkan) rahmat ilahi. Kata 'sakramen' berasal dari Bahasa Latin sacramentum yang
secara harafiah berarti
"menjadikan suci". Salah satu contoh penggunaan kata sacramentum adalah
sebagai sebutan untuk sumpah bakti yang
diikrarkan para prajurit Romawi; istilah ini kemudian
digunakan olehGereja dalam pengertian
harafiahnya dan bukan dalam
pengertian sumpah tadi. Sakramen dimengerti
sebagai tanda yang menguduskan. Dalam arti luas Kristus dan Gereja disebut
Sakramen. Dalam arti sempit sakramen berarti tanda atau upacara suci Kristus
dan Gereja-Nya menguduskan umat beriman dalam tahap-tahap penting hidupnya dari
lahir sampai mati.[3]
b. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Sakramen adalah upacara resmi untuk bertemu
denganTuhan dan untuk menerima rahmat Tuhan lewat tanda-tanda. Ada tujuh
sakarmen yakni baptis, tobat, ekaristi, penguatan , imamat, perkawinan dan
minyak suci.[4]
c. Secara Harafiah
Sakramen adalah manifestasi karya cinta kasih
dan penyelamatan Allah sendiri. Ada tujuh Sakramen dalam Gereja Katolik dan
ketujuh sakramen ini, Gereja mau menyatakan bahwa Allah, dalam Kristus, hadir
dalam setiap peristiwa atau tahap penting hidup manusia, yaitu peristiwa lahir
(Sakramen Baptis), dewasa (Sakramen Krisma), kawin (sakramen Perkawinan), dan
jabatan dalam Gereja (Sakramen Imamat). Allah hadir juga dalam situasi penting
hidup manusia, yaitu situasi manusia ketika membutuhkan kekuatan iman atau
santapan rohani seperti tubuh butuh santapan jasmani (Sakramen Ekaristi),
pengampunan bila jatuh dalam dosa (Sakramen Tobat), dan penyembuhan bila dalam
keadaan sakit (Sakramen Pengurapan Orang Sakit). [5]
2.1.2 Pengertian Sakramen Tobat
Sakramen tobat biasa dikenal juga dengan
sebutan sakramen rekonsiliasi. Dokumen resmi Gereja sendiri biasa menyebut
sakramen rekonsiliasi dengan “Sakramen Tobat” (SC 72). Namun, teologi dan
liturgi Sakramen Tobat sekarang ini kembali membiasakan diri dengan istilahreconciliation yang
amat lazim digunakan dalam Gereja abad-abad pertama. Istilah “rekonsiliasi” ini
merangkum sakaligus: inisiatif Allah yang lebih dahulu menawarkan pendamaian
kepada umat-Nya (pendamaian dengan Allah), pendamaian kita dengan sesama, dan
seluruh alam ciptaan sebagai dimensi sosial ekologis, dan penyembuhan yang
bermakna penemuan kembali kehidupan damai pada hati orang yang bertobat dan
telah menerima pengampunan dosa.[6]
Di dalam Sakramen tobat, Allah mengampuni dosa
peniten dan mendamaikan peniten dengan diri-Nya dan dengan sesamanya, memberi
peniten hidup baru dan mengubah peniten menjadi serupa dengan Kristus.[7] Sakramen
tobat bukanlah laporan tentang dosa-dosa, melalui perantaraan seorang imam
tetapi lebih dari itu adalah sakramen tobat sebagai media yang membantu peniten
untuk berdamai dengan Allah dan juga dengan sesama dan alam sekitarnya.
2.2 Perkembangan Praktek Sakramen
Tobat Dalam Kitab Suci
2.2.1 Kitab
Suci Perjanjian Lama
Kitab Suci Perjanjian
Lama mengenal praktek pertobatan baik menurut segi ritual kultis maupun menurut
aspek batiniah dan sikap hidup dan perbuatannya. Perjanjian Lama biasa
menghubungkan bencana dan penderitaan sebagai akibat dosa dan kesalahan.
Israel mengenal hari pengampunan yang disebut
Yom Kippurim. Ritus pertobatannya dalam bentuk berpuasa, menyobek pakaian,
berpakaian karung kasar, menaburi kepala dengan abu, dan berlutut atau duduk di
tanah sambil menangis di hadapan Yahwe (lihat Kitab Ezra 9: 5-15, Nehemia 9:
5-37, Daniel 3:26-45; 9:4-19, Barukh 1:15, Mazmur 106, Yeremia 14: 7-20, Yesaya
59: 9-15; 63: 7- 64: 11).[8] Inti
upacara ini adalah umat menyerahkan diri secara penuh kepada perlindungan
Yahwe.
Hal ini sebagai ungkapan pertobatan mereka
untuk berbalik kepada Yahwe dan mereka meyakini bahwa Allah mengampuni orang
yang hatinya remuk redam. Pengampunan itu dirasakan sebagai penyembuhan.
2.2.2 Kitab Suci Perjanjian Baru
Para penginjil bercerita tentang pertobatan
dalam bentuk perumpamaan. Perumpamaan Yesus yang paling indah adalah
perumpamaan tentang anak yang hilang (Lukas 15: 11-32).[9]Perumpamaan
ini melukiskan bagaimana keadaan manusia yang jauh dari Allah seperti anak yang
hilang. Semua oranng harus kembali kepada Allah dengan kerinduan untuk bertobat
dan bersatu kembali dengan-Nya. Allah adalah Bapa yang penuh belas kasih yang
dengan penuh kerinduan dan kesabaran menantikan anak-anaknya untuk kembali
kepada-Nya.
Sebagai tanda bahwa Sakramen tobat ini
didirikan oleh Yesus Kristus, tradisi mengemukakan teks-teks yang berbicara
mengenai “mengikat dan melepaskan” (Matius 16:19 dan 18:18) dan mengenai
“mengampuni dosa atau meyatakan dosa orang tetap ada” (Yohanes
20:23). Dan pengampunan itu mungkin karena Yesus telah memberikan Roh Kudus
kepada Gereja-Nya (Yohanes, 20:22)[10]
2.3 Sejarah
Perkembangan Praktek Sakramen Tobat
2.3.1 Rekonsiliasi
Jemaat menurut Model Tobat Publik pada Zaman Patristik.
Dari kesaksian Surat
Klemens (tahun 93-97) diungkapkan model pertobatan dengan pengakuan dosa.
Demikian pula pada pertengahan abad II, Didache[11] menyatakan
bahwa pengakuan dosa dan pengampunan dosa menjadi pengandaian seseorang boleh
ikut Perayaan Ekaristi. Tertulianus pada akhir abad II menyebut tobat publik.
Tobat publik ini diperuntukkan bagi warga Gereja yang melakukan dosa berat dan
dilaksanakan sekali saja seumur hidup.[12]
2.3.2 Tobat Pribadi
atau Pengakuan Dosa Pribadi sejak Abad VI.
Praktek yang berat dari tobat publik (sekali saja
seumur hidup) membuat orang cenderung menghindarinya dan baru menerimanya
menjelang datangnya ajal. Tobat pribadi menjadi solusi untuk ini. Tobat
ini berasal dari para rahib Irlandia pada abad VI. Mulai tahun 800, tobat
publik sudah mendominasi seluruh Gereja Barat. Pada abad XIII, tobat pribadi
diterima dan diajarkan dengan resmi oleh Gereja melalui Konsili Lateran IV
(1215).[13]
2.3.3 Teologi
Skolastik mengenai Sakramen Tobat.
Teologi Skolastik terutama memperbincangkan soal, apakah
absolusi oleh imam menyebabkan causa pengampunan dari pihak Allah.[14] Tekanan
teologi skolastik mengenai sakramen Tobat pada umumnya adalah ciri pengadilan
dari sakramen Tobat tersebut. Pokok yang didiskusikan adalah kuasa imam
untuk memberikan absolusi atau pelepasan dari dosa.
2.3.4 Ajaran
Resmi Gereja pada Abad Pertengahan mengenai Sakramen Tobat.
Konsili Lateran IV (1215)
mewajibkan semua umat beriman untuk mengaku dosa di hadapan imam sedikitnya
sekali setahun dan untuk berusaha melakukan penitensi.[15] Konsili Trente (1551) menegaskan ajaran
tentang sakramen Tobat sebagai berikut:[16]
- Sakramen Tobat ditetapkan oleh Kristus
sendiri dan dapat diulangi
- Gereja mempunyai kuasa untuk melepaskan
dan mengampuni dosa
- Pengakuan sakramental di hadapan imam
sesuai dengan perintah Kristus dan ditetapkan oleh hukum ilahi
- Menurut hukum Ilahi, pengakuan pribadi
atas dosa berat adalah keharusan
- Semua orang kristiani wajib mengaku dosa
sekali setahun
- Hanya imam, juga kalau ia berdosa berat,
yang mempunyai kuasa untuk mengikat dan melepaskan dosa.
2.3.5 Sakramen
Tobat dalam Semangat Konsili Vatikan II.
Dalam konstitusi tentang liturgi momor 72 Konsili
Vatikan II, menuntut
supaya sakramen tobat dibaharui dan menginginkan agar dalam pembaharuan
itu peran Gereja lebih ditonjolkan lagi.[17] Perbaharuan
yang dilakukan untuk melihat penghayatan sakramen tobat secara benar menurut
keyakinan iman kepercayaan. Di sini penekanan lebih difokuskan pada pembaharuan
liturgy tobat dengan memberikan kemungkinan kepada pengakuan pribadi sebagai
upacara sabda.
Konsili Vatikan II berbicara tentang sakramen tobat sebagai
tempat, di mana orang berdosa diperdamaikan kembali dengan Gereja. Dalam Lumen
Gentium 11, menyatakan kembali dimensi eklesial sakramen tobat:[18]
“Mereka yang memerima sakramen tobat memperoleh pengampunan dari
belas kasih Allah atas penghinaan mereka terhadapa-Nya, sekaligus mereka
didamaikan dengan Gereja, yang telah mereka lukai dengan berdosa, dan membantu
pertobatan mereka denngan cinta kasih, teladan, serta doa-doanya.”
Paus Yohanes Paulus II menulis surat apostolik Reconciliatio
et Paenitentia (1984) yang menyampaikan suatu teologi yang kurang
lebih komprehensif.[19] Dalam
surat apostoliknya Yohanes Paulus II mengajak umat yang adalah anggota Gereja,
untuk melihat sakramen tobat dalam konteks hidup menggereja di mana pelayanan
sakramen tobat adalah tugas pokok dari Gereja yang merupakan sakramen
permandian.
2.4 Sikap- Sikap Penting dalam Sakramen Tobat
Kasih dan belas kasih
Tuhan juga menjadi dasar kepercayaan bagi pendosa untuk mendapatkan pengampunan
dalam Sakramen Tobat, yang diwakili oleh para pastor dengan memberikan
pengampunan atau absolusi. Seperti apa yang dirumuskan Karl Rahner,
“pendosa yang mengaku itulah yang menerima buahnya”[20].
Ada pun sikap-sikap tobatantara lain:
2.4.1 Penyadaran
akan kelemahan dan dosa
Hidup yang disucikan,
kehidupan baru yang diterima dalam Sakramen Baptis tidak menghilangkan
kerapuhan dan kelemahan kodrat manusiawi seseorang. Kecenderungan kepada dosa (concupiscentia) pun
tidak dihilangkan dari kodrat manusiawi seseorang. Kecenderungan ini tetap ada dan tinggal dalam diri pribadi seseorang.
Konsili Vatikan II dalam
Konstitusi Dogmatis tentang Gereja mengingatkan bahwa Gereja itu kudus karena
Kristus, Putera Allah, yang bersama dengan Bapa dan Roh Kudus membuatnya kudus
(Lumen Gentium, No. 39). Namun demikian, Gereja itu “merangkum pendosa-pendosa
dalam pangkuannya sendiri. Gereja itu suci sekaligus harus selalu dibersihkan,
serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaruan” (Lumen Gentium, No. 8).[21]Kesadaran
pribadi akan dosa-dosa yang telah diperbuatnya memampukan dirinya untuk
bertobat di mana ada suatu kerinduan akan cinta dan belas kasihan Allah di
dalam dirinya.
2.4.2 Penelitian
batin
Hal yang hendaknya juga tidak dilupakan dalam
proses penyadaran diri akan kelemahan dan dosa yang selalu bisa saja terjadi
setelah pembaptisan, yaitu penelitian batin. Orang diarahkan untuk masuk ke dalam lubuk
hati yang terdalam, melihat dan memeriksa kembali bahwa ternyata pribadi memang orang berdosa yang membutuhkan pertobatan
dan pembaruan. Penelitian batin yang sungguh-sungguh seperti ini akan
menyadarkan jati diri sebagai
orang berdosa, baik dalam arti personal (dosa-dosa pribadi) maupun dalam arti
komunal (dosa-dosa sosial).
Sakramen tobat adalah tindakan Kristus bukan tindakan peniten.
Tindakan Kristus ialah memaklumkan kabar gembira dan membawa damai kepada
peniten. [22] Efek dari pemakluman ini
mengarahkan si peniten menjadi insyaf akan dosa-dosanya, bahwa matanya
betul-betul terbuka, dan bahwa ia mulai merasa menyesal sehingga bertobat dan
akhirnya ia merasa gembira atas rahmat pengampunan atas dosa yang merupakan
rahmat penyembuhan.
2.5 Peran-peran dalam
Sakramen Tobat
Dalam Tatacara Sakramen
Tobat ada tokoh-tokoh yang berperan aktif di dalamnya. Di sini tokoh-tokoh yang
berperan aktif di dalamnya antara lain Bapa pengakuan dan Peniten itu sendiri.
2.5.1 Bapa
Pengakuan
Bapak pengakuan mengambil bagian dalam peranan
rangkap: Hakim-Penyelamat! Keputusan hakim merupakan absolusi, pembebasan yang
menyembuhkan. “Vonis” itu hanya gagal, kalau orang yang mengaku tidak siap
dengan baik.[23] Agar
menjadi wakil Kristus yang baik dan agar kesempatan yang menguntungkan itu
sedapat-dapatnya menjamin hasil pekerjaan rahmat Ilahi, maka imam bertindak
sebagai wakil Kristus yang mengajar kepada pendosa melalui tindakan Roh Kudus.
Hendaknya imam di tempat pengakuan berlaku sedemikian sehingga peniten lebih
yakin akan kenyataan bahwa perayaan sakramen tobat ini merupakan satu jalan
yang ajaib untuk memuji Allah, serta merupakan salah satu bentuk doa-doa
liturgis.
2.5.2 Pentobat
(Peniten)
Peran dari pentobat (peniten)
dalam Sakramen Tobat sangatlah penting, hal ini dilandaskan pada definisi dasar
dari Sakramen Tobat itu sendiri yakni pentobat adalah orang yang menyadari
kedosaan dalam dirinya, di mana ada relasi yang tidak harmonis antara dirinya
dengan sesama dan juga Tuhan. Halangan yang paling besar dalam menerima sakramen tobat adalah
sikap sombing, angkuh, sikap egosentris (self- satisfication).
Self-satisfication itu meniadakan, menghindari, mengelakkan kerendahan hati,
dan menutup jalan untuk memulihkan harmoni dengan TuhanAllah dan sesama.
St. Agustinus, seorang psikolog besar di
antara Bapa-Bapa Gereja mengatakan bahwa: “langkah pertama menuju pembebasan
dari dosa adalah kerendahan hati, dan langkah kedua sekali lagi kerendahan hati
dan langkah ketiga adalah kerendahan hati.”[24] Kebajikan
penting yang dibuat peniten dalah kerendahan hati. Kebajikan itu menimbulkan
dalam hati kesadaran yang dalam dan asli tentang dosa. Dengan kerendahan hati
itu si peniten akan mengerti tentang apakah arti dosanya. Kerendahan hati itu
akan akan menyalakan keinginannya untuk bertemu Penyelamat dan Tabib Ilahi.
BAB III
SAKRAMEN TOBAT SEBAGAI SAKRAMEN PENYEMBUHAN
DALAM MENINGKATAN PEMAHAMAN DAN PENGHAYATAN IMAN UMAT
3.1 Sakramen Tobat Sebagai
Sakramen Penyembuhan
Sakramen Tobat selalu memberi daya
penyembuhan spiritual, yakni pengampunan dosa, juga memberikan penyembuhan
luka-luka batin (misalnya sikap mudah marah, dendam, iri hati, merasa
dibenci, dan sebagainya), atau penyembuhan relasi yang disharmonis dengan
sesamanya ataupun pembebasan dan kuasa kegelapan (misalnya terlibat dalam ilmu
hitam, perdukunan, dan sebagainya). Dalam hal ini Sakramen Tobat dapat
memberikan daya penyembuhan secara integral, utuh. Orang sungguh-sungguh dapat
merasakan hidup secara baru dan bebas dari beban-beban
yang selama ini terasa berat dan menyesakkan.
Adapun buah-buah rohani
yang diperoleh dari Sakramen Tobat antara lain:[25]
a) Orang
mengalami pendamaian dengan Allah karena relasi kasih dengan Allah yang telah
putus karena dosa (terjadi PHK: Putus Hubungan Kasih) telah dipulihkan kembali.
Kasih Allah yang hidup sungguh-sungguh menjadi hidup kembali dan dialami secara
pribadi.
b) Orang
mengalami pendamaian dengan komunitas Gereja. Relasi dengan sesama saudara yang
selama ini retak dan rusak, entah karena dendam, iri hati, tak mau mengampuni,
difitnah, dan sebagainya, telah disembuhkan dan pulih kembali. Sebab Sakramen
Tobat “menyembuhkan orang yang diterima kembali dalam persekutuan dengan Gereja
yang menderita karena dosa dan salah seorang anggotanya” (Katekismus Gereja
Katolik, No.1469).
c) Orang
mengalami penyembuhan secara utuh: dan dosa, luka-luka batin, relasi yang
disharmonis, dan ikatan ilmu hitam, perdukunan, dan sebagainya.
d) Orang
mengalami pembebasan dari siksa abadi, yang akan diterimanya jikalau ia tetap
berada dalam dosa berat (Katekismus Gereja Katolik, No. 1496).
e) Orang
mengalami pembebasan—paling sedikit—dan sebagian siksa sementara yang
diakibatkan oleh dosa.
f) Orang
mengalami ketenangan hati nurani dan hiburan rohani. Orang mengalami
pertumbuhan kekuatan rohani untuk perjuangan dalam menghayati iman
kristianinya.
3.2 Peranan Sakramen Tobat Dalam Meningkatkan
Pemahaman dan Penghayatan Iman Umat
Mungkin ada orang yang
mengajukan keberatan, mengapa harus mengaku dosa, kalaunanti juga akan melakukan dosa yang sama
lagi. Menurut ritus baru, Sakramen tobat adalah sungguh adalah sakramen
penyembuhan. Hal ini secara eksplisit dinyatakan dalam bagian introduksi:
”sama seperti luka-luka dosa bervariasi dan
bertambah banyak dalam hidup orang perorangan dan dalam hidup komunitas,
demikian juga penyembuhan yang diberikan oleh Sakramen ini
bervariasi….agar sakramen penyembuhan ini sungguh-sungguh tercapai tujuannya di
antara umat beriman, haruslah ia berakar dalam seluruh hidup mereka….”[26]
Ritus baru ini juga
mengenalkan pada umat satu
istilah baru, yaitu “luka-luka dosa”. Luka-luka dosa adalah suatu konsep baru
dalam Gereja Katolik. Biasanya orang hanya melihat dosa hanya sebagai serangan terhadap
Allah atau sebagai suatu aliansi dari Allah. Lewat Sakramen Tobat, orang menerima pengampunan dosa dari Allah
dan orangdidamaikan
kembali dalam hubungan yang akrab dan mesra dalam nada-nada cinta Ilahi. Akan
tetapi, kini Gereja juga merefleksikan bahwa dosa tidak hanya sebatas pada
putusnya hubungan pribadi dengan
Allah, tetapi juga merusak hubungan pendosa dengan sesama dan dengan diri sendiri. Relasi yang
rusak inilah yang menimbulkan “luka-luka dosa”. Dalam banyak kasus, dosa tidak
hanya menyebabkan luka-luka rohani, tetapi juga psikis dan bahkan kadang-kadang
sakit fisik juga. Gereja menunjukkan
semua akibat dosa ini dengan istilah “luka-luka dosa” dan menghadirkan Sakramen
Tobat sebagai sakramen penyembuhan yang memberikan bermacam-macam penyembuhan
bagi aneka ragam luka-luka dosa.
Luka-luka dosa terjadi di
dalam batin dan bersifat internal. Karena itu, dosa menyebabkan orang terluka
dalam batin mereka, yaitu dalam gambaran diri (image), dalam batin,
emosi, pikiran, memori dan dalam relasi mereka. Semua luka-luka dosa, yang
terjadi dalam batin ini, dapat disembuhkan dalam Sakramen Tobat. Unsur
penyembuhan ini nampak jelas dalam Sakramen Tobat terlebih khusus dalam rumusan
absolusinya. Rumusan absolusi yang baru berbunyi sebagai berikut:
Allah, Bapa yang mahapengasih,
telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya
karena wafat dan kebangkitan Putera-Nya.
Ia telah mencurahkan Roh Kudus
demi pengampunan dosa;
dan berkat pelayanan Gereja,
Ia melimpahkan pengampunan dan damai kepda
saudara.
Maka saya melepaskan engkau dengan segala
dosamu dalam nama (+) Bapa dan Putera dan Roh Kudus.[27]
Dengan kalimat “dan
berkat pelayanan Gereja, ia melimpahkan pengampunan dan damai kepada saudara”,
Gereja mengungkapkan sendiri kesadarannya akan penyembuhan relasi yang rusak:
relasi antara manusia dan Allah, relasi antara sesama manusia dan relasi di dalam
diri manusia sendiri. Dalam rumusan absolusi itu, istilah “pengampunan” (pardon)
mengandung arti pembebasan dari dosa atau penyembuhan relasi dengan Allah.
Sedangkan istilah “damai” (peace) menunjukan pulihnya relasi dengan
sesama dan diri sendiri. Singkatnya kata “pengampunan” menunjukan penghapusan
dosa, dan kata “damai” untuk penyembuhan luka-luka batin.[28] Pengampunan
dan damai ini memberikan penyembuhan terhadap “luka-luka batin”.
Imam dengan mudah dapat menambahkan doa
penyembuhan sederhana yang ditujukan pada bagian bermasalah dari hidup peniten.
Bila sedang dalam pengakuan dosa, sebaiknya doa penyembuhan tidak diberikan di
luar Sakramen Tobat. Imam itu dapat menambahkan doa itu segera sesudah
absolusi. M. Scanlan berkata,
”Adalah
tidak cocok jika doa penyembuhan terjadi sama sekali di luar sakramen Tobat.
Tuhan sendirilah yang pertama-tama telah menghubungkan penyembuhan dengan
pengampunan dosa, dan Gereja telah menngembangkan suatu teologi rekonsiliasi
yang menunjukan sakramen ini sebagai jalan biasa untuk penyembuhan luka-luka
batin. Konsep tepat dari “keselamatan” adalah berhubungan dengan kata “salus”,
yang berarti hidup sehat atau hidup penuh. Karya keselamatan yang terjadi lewat
Sakramen Tobat ini seharusnya memasukan unsur penyembuhan ini, yaitu hidup
sehat atau hidup
penuh.”[29]
Jadi,
memperoleh keselamatan dalam Sakramen Tobat berarti memperoleh penyembuhan,
yaitu hidup sehat dan hidup penuh (wholeness). Karena itu
pendekatan penyembuhan terbaik dewasa ini adalah pendekatan holistik, integral
dan tidak terpisah-pisah. Dahulu, ada kecenderungan sementara orang untuk
membagi-bagi bidang pengobatan sehingga orang sakit fisik hanya diobati dengan
terapi medis, orang sakit psikis hanya pergi ke psikiater, dan orang sakit
rohani pergi mengaku dosa. Padahal, orang tahubahwa manusia itu merupakan satu kesatuan
terdiri dari badan, jiwa dan roh (bdk I Tes 5:23). Ketiga unsur ini saling
berhubungan satu sama lain dan saling mempengaruhi. Orang yang sakit fisik
terlalu lama dan tidak pernah sembuh-sembuh bisa juga sakit fisik dan sakit
rohani, misalnya dosanya banyak dan berat, bisa juga menyebabkan sakit fisik
dan psikis, tergantung pada kasusnya. Karena itu, Sakramen Tobat tidak hanya
penyembuhan rohani saja, yaitu pengampunan dosa, tetapi juga bisa memberikan:
a. Penyembuhan
fisik, jika dosa itu menyebabkan peniten sakit fisik, seperti sakit kepala,
sakit perut, jantung berdebar-debar, darah tinggi.
b. Penyembuhan
luka-luka batin, jika dosa itu menyebabkan gangguan emosional dan psikologis,
misalnya mudah marah, menyimpan dendam, irih hati, sikap sukar mengampuni, dan
lain sebagainya.
c. Penyembuhan
relasi sosial, jika dosa itu menyebabkan relasi buruk atau putus hubungan
dengan orang lain.
d. Pembebasan
dari segala kuasa kegelapan, jika dosa itu berhubungan dengan pengaruh roh
jahat, terlibat dalam ilmu hitam, perdukunan dan lain sebagainya.
Dengan demikian, Sakramen Tobat tidak lagi
sekedar pelaporan dosa-dosa dan minta absolusi, atau pemberian nasihat-nasihat
saleh, tetapi sungguh-sungguh suatu sakramen yang menyembuhkan.[30] Pertobatan
adalah suatu tindakan kembali kepada Allah merupakan suatu kenyataan iman yang
mungkin, karena Allah adalah kasih tetap menghendaki keselamatan seluruh umat
manusia, dan peniten sendiri tidak bisa memungkiri diri-Nya sebagai cinta
kasih. Karena cinta kasih Allah lebih kuat dari pada kekuatan dosa, maka orang boleh berharap bahwa Allah dalam
kasih-Nya dengan salah satu cara yang bijak akan menyadarkan manusia
untuk kembali kepada persatuan dengan diri-Nya yang adalah sumber keberadaan
manusia yang paling mendasar dan otentik.
Pertobatan meluluhkan
kekerasan hati; kasih yang membuatnya lembut. Setiap pribadi dituntut untuk mewujudkannya
terus menerus untuk mempersiapkan hati yang pantas untuk berjumpa dengan Tuhan.
Pertobatan akan memberikan kebijkasanaan yang memampukan orang bermurah hati
terhadap sesama, agar dengan
demikian ia dapat menerima
cahaya yang dibutuhkan untuk menemukan Tuhan yang dicari. Kepada kita, mungkin
Tuhan akan berkata seperti yang disampaikannya kepada nabi Yesaya, “Bukan!
Berpuasa yang Kukehendaki ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu
kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang-orang
yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecahkan rotimu bagi
orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang yang miskin yang tidak punya
rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia
pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri. Pada itulah
terangmu akan merekah seperti fajar. Apabila engkau menyerahkan pada orang yang
lapar apa yang engkau inginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas
maka terangmu akan terbit dalam gelap, dan kegelapanmu seperti rembulan tengah
hari” (bdk Yesaya 58:6-8.10).[31]
Orang tidak hanya memahami
dengan hati tetapi juga percaya dengan hati. Hal ini kalau hati setiap insan tidak angkuh atau
degil. Pertobatan tidak hanya memberikan suka cita akan pemahaman bahwa dosa diampuni Tuhan, tetapi juga cahaya
iman, sehingga dapat memiliki “penglihatan yang jelas karena berpegang pada
iman”. Semua orang yang suci hatinya akan memandang Allah. Tetapi hanya
dengan mata iman, orang dapat menemukan tanda-tanda kehadiran Allah dalam
pencarian, pertama-tama bertobat dan percaya sebelumnya dan pada akhirnya mampu
mengenal Dia yang adalah Mahapengampun dan Mahapenyayang. Iman merupakan sumber
keberanian yang orangbutuhkan
dalam perziarahan mencari Allah, karena orang beriman tahu bahwa Allah merupakan tempat
perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan.
3.3 Kesejajaran antara Psikoterapi dan Sakrmen
Tobat
Dewasa ini dalam arus perkembangan teknologi
dan informasi, intelektual manusia pun dirasuki oleh virus perkembangan itu.
Ada gejala bahwa umat kurang mau pergi mengaku dosa, namun mereka tidak
segan-segan pergi ke psikiater atau terapis lainnya untuk menjalani
psikoterapi. Mungkin orang lebih suka pergi ke psikoterapi karena mereka
memandang Sakramen Tobat tidak lagi menyembuhkan mereka, atau karena mereka
tidak menghargai lagi hal-hal yang berkaitan dengan hidup keagamaan , atau
karena mereka melihat bapa pengakuan lebih bertindak sebagai hakim dari pada
seorang bapa, atau karena lebih menghargai profesi profan, atau karena mereka
lebih menghargai hal-hal yang mereka bayar sendiri. Tujuan orang datang kepada
psikiater atau kepada imam sama, yaitu orang ingin sembuh (bebas dari penyakit
atau dosa), hidup sehat dan bebas dari segala macam permasalahan hidup.
Sebenarnya ada kesejajaran antara psikoterapi dan Sakramen
Tobat.[32] Ada
persamaan dan perbedaan di antara keduanya. Ada pun persamaannya sebagai
berikut:
a. Model dari keduanya adalah pertemuan one
to one.
b. Sementara klien atau peniten mengungkapkan
hal-hal pribadi dari hidup mereka, terapis atau imam mendengarkannya dengan
simpati dan empati.
c. Keduanya menuntut kerahasiaan (konfidensial).
d. Dalam keduanya, orang dapat mengalami
penyembuhan dan damai batin ketika orang menceritakan seluruh kebenaran dirinya
kepada seorang yang mendengarkannya tanpa menghinanya.
e. Keduanya mendasarkan diri pada kerja sama
untuk sembuh. Psikoterapi mendasarkan diri pada kerja sama antara terapis dan
klien sebagai sarana penyembuhan, sedangkan dalam Sakramen Tobat, kerja sama
itu terjadi antara peniten dan imam. Dalam psikoterapi, pribadi terapis
(intergritasnya, kehangatanya dan cinta kasihnya) menjadi sarana bagi klien
untuk berubah (sembuh). Sedangkan dalam Sakramen Tobat, pribadi imam
(intergritasnya, belas kasihnya, dan cinta kasihnya) juga menjadi sarana yang
menyembuhkan. Akan tetapi, pribadi imam adalah tanda sakramental dari cinta
kasih Allah yang menyembuhkan. Benar, bahwa seorang terapis dapat juga menjadi
tanda sakramental dari Allah yang berbelas kasih, yaitu dalam bentuk analog
terhadap peranan sakramental imam dalam Sakramen Tobat. Akan tetapi walaupun
hal itu benar, kerap kali terapis tidak sadar akan kemungkinan dan peranan ini.
Namun ada perbedaan antara psikoterapi dan
Sakramen Tobat.[33] Perbedaan
itu adalah sebagai berikut:
a. Terapis tidak tertarik berbicara tentang dosa.
Tugas utamanya adalah untuk membantu klien berkembang menjadi dewasa.
Sebaliknya, dalam Sakramen Tobat, imam justru berbicara tentang dosa, di mana
peniten membutuhkan pengampunan dosa.
b. Terapis mencari arti psikologis dari
pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan tingkah laku kliennya. Dimensi
psikologis pengalaman hidup klien adalah lapangan ilmu mereka. Sedangkan dalam
dimensi religius klien akan mereka geluti sejauh hal itu relevan dengan
kesulitan-kesulitan psikologis klien. Sedangkan Sakramen Tobat, dimensi
religius hidup penitenlah yang menjadi fokus utama dari imam. Imam berbicara
tentang hubungan peniten dengan Allah dan tentang kesadaran peniten akan
kesalahannya kurang menjalin hidup harmonis dengan Allah, dan dengan sesamanya.
Imam memfokuskan diri pada hubungan peniten dengan Allah dan peniten dengan
umat Allah . imam tertarik berbicara tentang dimensi psikologis peniten sejauh
dimensi ini menerangkan keadaan jiwa peniten, dan menerangkan hubungan peniten
dengan Allah dan sesamanya.
c. Terapis tidak pernah melihat diri mereka
sebagai jaminan akan penerimaan dan pengampunan dari Allah. Iman terapis tidak
pernah terlibat dalam proses terapeutik. Tetapi, imam dalam Sakramen Tobat
sangat eksplisit menyatakan bahwa Allah telah mengampuni dosa peniten dan
menampakan hal ini dalam kata-kata dan tindakan absolusi. Tanda Sakramental
dari belas kasih dan pengampunan Allah ini dengan nyata diungkapkan oleh imam.
Imam ingin mengalami belas kasih dan pengampunan Allah lewat tindakan
sakramentalnya.
Dari kesejajaran antara psikoterapi dan
Sakramen Tobat ini, dapat dilihat bahwa sebagaimana psikoterapi membawa
penyembuhan kepada pasien, demikian pula Sakramen Tobat membawa penyembuhan
kepada peniten. Sakramen tobat juga memberikan damai dan ketenteraman hati
kepada peniten. Bahkan jika peniten sedang di bawah perawatan psikoterarapi,
tambahan pula doa penyembuhan dalam Sakramen Tobat tetap membantunya dalam
proses penyembuhan.
3.4 Faktor-faktor Penghambat Perkembangan Sakramen
Tobat
Ada tiga alasan pokok yang membuat orang tidak lagi mengaku dosanya
antara lain:
3.4.1 Wawasan
yang sempit tentang dosa.
Dosa dimengerti orang
sebagai melanggar perintah Allah. Istilah “dosa” sebenarnya berarti memotong
atau memutuskan. Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, bukan hanya kerena mereka
tidak taat kepada perintah Allah, tetapi karena mereka memutuskan hubungan
mereka dengan Allah, sebab mereka berkeinginan sekali untuk menjadi sama
seperti Allah dengan makan buah terlarang (Kej 3:5).[34] Karena
itu, banyak orang sekarang ini mengatakan bahwa mereka tidak berbuat dosa, atau
mereka tidak memiliki satu dosa pun, karena mereka tidak memiliki hubungan kasih
dengan Allah. Mereka hidup tanpa Allah. Secara teoritis, mungkin saja mereka
mengaku percaya bahwa Allah ada. Akan tetapi dalam praktek hidup sehari-hari,
Allah tidak masuk dalam hitungan atau prioritas kehidupan mereka. Imam tentu
dapat menolong umat agar sadar akan hubungan mereka dengan Allah dan aka apa
artinya “dosa”. Dosa bukan hanya sekedar melanggar perintah Allah, tetapi lebih
pada pemisahan diri kita dari Allah, memandang hidup ini hanya ditentukan oleh
manusia sendiri.
3.4.2 Hilangnya
pengakuan jati diri sebagai orang berdosa
Dewasa ini orang
cenderung tidak lagi mengakui diri sebagai makhluk yang berdosa, yang mampu
berdosa dan cenderung berbuat dosa (kejahatan). Dosa berhubungan dengan
kejahatan. Orang cenderung mempersalahkan hal lain (situasi atau sistem)
sebagai penyebab kejahatan. Pandangan materialistik, misalnya beranggapan bahwa
orang berbuat dosa karena situasi kemiskinan, kekurangan sandang, pangan dan
papan. Untuk mencegah kejahatan, orang perlu meningkatkan kesejahteraan hidup.
Jika kesejahteraan hidup meningkat, maka tidak ada lagi kejahatan dan dosa.
Jadi yang salah bukanlah manusianya, tetapi keadaan kemiskinannnya. Sedangkan
pandangan lain, penganut teori sistem, menyatakan bahwa kejahatan dalam dunia
ini sebenarnya adalah produk dari sebuah sistem politik, ekonomi, dan sosial
yang tidak adil. Karena itu sistemlah yang harus diubah, kalau perlu dengan
revolusi. Pandangan lain mengatakan bahwa kejahatan muncul karena kebodohan,
yaitu karena orang tidak tahu mana yang baik dan benar. Untuk itu perlu ada
pendidikan. Pendidikanlah, yaitu dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang akan memecahkan semua kejahatan di muka bumi ini. Selanjutnya ada
pandangan yang lain mengatakan bahwa, kejahatan muncul Karena adanya penyimpangan
dalam psike manusia. Oleh karena itu, distorsi dalam pikirannya yang harus
disembuhkan lewat teknik-teknik terapeutik. Jika setiap pribadi jujur pada diri
sendiri, maka orang harus
mengakui bahwa semua pandangan di atas tidaklah
benar seluruhnya. Dari pengalaman, orang mengetahuibahwa akar dosa-dosa bukanlah, sistem yang
salah, ketidaktahuan atau pun penyakit. Penyebab kejatahatan (dosa) adalah
adanya kecenderungan dalam diri manusia untuk memisahkan hidup dari Allah dan
menentukan sendiri segalanya untuk kepentingan dirinya sendiri, bahkan sampai
mengorbankan orang lain.
3.4.3 Tidak
adanya penyembuhan setelah pengakuan dosa
Umat menyadari bahwa
pengakuan dosa adalah sebuah tindakan yang tidak memadai lagi untuk arah
kehidupan mereka. Mereka selalu jatuh ke dalam dosa yang sama tanpa daya untuk
dapa mengubah hidup mereka. Akan tetapi, anehnya, banyak orang sekarang pergi
ke psikiater untuk membicarakan masalah-masalah hidup mereka, mengaku
kekurangan-kekurangan mereka dan untuk mendapatkan penyembuhan.
Sebenarnya kata “mengaku” pertama-tama
tidak berarti “mengaku dosa”. Kata Latinconfession, pertama-tama dan
terutama berarti “pengakuan atas kesempurnaan dan kebesaran Allah.[35] Karena
hanya Allah yang sempurna, maka orang mengakui ketidaksempurnaan dan kererbatasan diri sebagai manusia, makhluk ciptaan
Allah. Karena kekurangan ini, maka semestinya setiap pribadi yang berdosa juga mengakui
kekurangan dalam hubungan yang mendalam dengan Allah, kekurangan dalam
mencintai Allah.
3.5 Catatan Kritis Penulis
Berdasarkan hasil sharing pengalaman yang
dilakukan di Lingkungan St. Antonius Numbei, Paroki St. Lukas Wekfau-keuskupan
Atambua[36] tentang
manfaat Sakramen Tobat dalam kehidupan mereka, ada berbagai macam argument yang
diungkapkan:
a. Sakramen Tobat sebagai media membantu mereka
untuk kembali menjalin relasi yang baik dengan Tuhan. Dosa yang telah mereka
lakukan mengakibatkan mereka merasa tidak pantas sebagai pengikut Tuhan.
b. Pengakuan dosa yang dilakukan membuat mereka
merasa disembuhkan dari kedosaan yang telah mereka ciptakan secara tahu dan
mau. Tindakan pengakuan dosa yang mereka lakukan bukan karena semata-mata atas
tindakan pastoral yang telah dibuat tetapi semua berawal dari kesadaran diri
sebagai makhluk yang lemah mudah jatuh dalam dosa. Setelah pengakuan mereka
merasakan suatu kehidupan baru dalam naungan cinta dan rahmat dari Tuhan.
Mereka melihat Sakramen Tobat sebagai Sakramen Penyembuhan yang membantu
meningkatkan pemahaman dan pertumbuhan iman mereka.
Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan di
atas, ternyata Sakramen Tobat sebagai Sakramen penyembuhan belum dihayati dan
dipahami sebagai sakramen penyembuhan. Praktek pengakuan dosa pribadi sering
dikeluhkan umat sebagai Sakramen yang tidak terlalu menggembirakan.
Ruang-ruang pengakuan dosa di gereja-gereja
menjadi sepi dan kosong. Biasanya tempat itu menjadi ramai pada saat menjelang
Natal dan Paskah, sesuai dengan ketetapan Hukum Kanonik dan Lima Perintah
Gereja, dan menjadi acara tahunan yang bersifat rutin, yang harus dilaksanakan.
Di keuskupan tertentu bahkan menjelang Natal dan Paskah pun ruang pengakuan
dosa di gereja tetap sepi, maka diambil kebijakan pastoral oleh pastor bahwa pengakuan
dosa dilakukan di wilayah-wilayah rohani, di ruangan-ruangan yang disediakan
ala kadarnya di rumah-rumah umat. Saya bertanya di dalam hati, “apakah ruang
tamu atau bahkan ruang tidur dari keluarga itu, yang mendadak disiapkan sebagai
ruang pengakuan, secara liturgis cocok untuk penerimaan Sakramen Tobat? Saya
menduga kebijakan itu terpaksa harus dibuat karena terjepit oleh dua kenyataan,
yaitu kewajiban mengaku dosa setiap tahun dan keengganan umat mengaku dosa di
gereja. Jalan keluarnya, pastor paroki mengejar umat untuk mengaku dosa sampai
di wilayah rohani.
Saya ingin memperkuat data ini dengan
pemaparan Jose Ramos-Regidor, seorang teolog Spanyol, yang menjadi salah satu
sumber inspirasi dalam penulisan karya tulis ini. Ada beberapa gejala yang ditemukan
antara lain: [37]
Pertama, gejala yang, mencolok adalah meningkatnya jumlah orang
yang menerima komuni, namun berkurangnya orang mengaku dosa. Rupanya bahwa
orang menerima komuni tidak harus dikaitkan dengan pengakuan dosa. Penerimaan
komuni tanpa pengakuan dosa sudah semakin biasa.
Kedua, beberapa alasan krisis praktek Sakramen Tobat bercorak
praktis, misalnya hanya merasa enggan untuk mengaku dosa; merasa tidak suka
berlutut seperti menyembah imam. Mengaku dosa itu seperti memelihara sifat
kekanak-kanakan; merasa malu karena biasa bergaul terlalu dekat dengan imamnya;
atau bahkan terlalu mengenal imamnya sampai dengan kekurangan dan dosa-dosa
imam itu. Ada yang merasa malu karena sudah lama sekali tidak mengaku dan sudah
lupa caranya. Orang lain lagi mengatakan bahwa pengakuan dosa itu hanya
bercorak formalitas dan legalitas belaka.
Ketiga beberapa alasan lebih bercorak fundamental. Ada umat
beriman yangn saleh dan baik, serta rajin ke gereja dan menjunjung
tunggu ekaristi, namun mereka merasa bahwa pengakuan dosa itu tidak ada
artinya. Orang lain lagi tidak menolak pentingnya Sakramen Tobat, namun menolak
caranya. Mereka tidak suka cara pengakuan individual yang harus menyebutkan
secara lengkap jenis dan jumlah dosanya.
Ternyata ada berbagai macam aneka alasan yang
menghambat umat untuk mempraktekan Sakramen Tobat. Di sini, saya mengajak
setiap pribadi untuk berusaha menemukan rumusan tata cara praktek Sakramen
Tobat yang sesuai dengan aspirasi umat masa kini.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Orang menerima Sakramen Tobat sebagai sakramen
penyembuhan atas luka-luka dan penyakit batin-hati-jiwa. Sakramen penyembuh-Nya akan membawa
kita kepada hidup dan keselamatan kekal. Untuk itu orang perlu mengenali dan merefleksikan
bersama: kedosaanpribadi sebagai
suatu penyakit dan belaskasihan serta kerahiman Allah Bapa sebagai suatu obat
yang menyembuhkan jiwa dan
raga. Sakramen
Tobat selalu memberi daya penyembuhan spiritual, yakni pengampunan dosa, juga
memberikan penyembuhan luka-luka batin (misalnya sikap mudah marah,
dendam, iri hati, merasa dibenci, dan sebagainya), atau penyembuhan relasi yang
disharmonis dengan sesamanya atau pun pembebasan dan kuasa kegelapan
(misalnya terlibat dalam ilmu hitam, perdukunan, dan sebagainya).
Dalam hal ini Sakramen Tobat dapat memberikan
daya penyembuhan secara integral, utuh. Orang sungguh-sungguh dapat merasakan
hidup secara baru dan bebas dari beban-beban
yang selama ini terasa berat dan menyesakkan. Sebagai umat Kristiani, hal pertama yang harus disadari di dalam
diri untuk menerima Sakramen Tobat adalah kesadaran untuk mengakui diri sebagai
manusia yang berdosa. Kerendahan hati untuk mengakui jati diri sebagai makhluk
yang berdosa ini memampukan pribadi untuk bertobat.
4.2 Usul saran
Berhadapan dengan praktek Sakramen Tobat di zaman sekarang ini
hendaknya setiap pribadi harus jeli melihat tatacara penerimaan Sakramen tobat
yang sesuai dengan konteks zaman. Ada beberapa hal praktis yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan Sakramen Tobat ini:
a) Pemberi
Sakramen Tobat adalah Uskup dan para imam yang telah menerima wewenang berkat
Sakramen Tahbisan. Tidak semua umat tahu hal ini. Pernah ada umat yang ingin
mengaku dosa kepada frater atau suster, kemudian ia disarankan supaya datang
kepada imam yang punya wewenang untuk itu.
b) Perlu
adanya katekese mengenai surga, neraka, api penyucian, dosa, kerahiman Allah,
dan sebagainya, sehingga umat memiliki penghargaan secara baru dan merayakan
Sakramen Tobat secara lebih intens. Sakramen Tobat dirayakan bukan hanya
sekurang-kurangnya sekali setahun (lihat perintah Gereja ke-4 dalam 5 perintah
Gereja), tetapi lebih baik lagi kalau dilakukan lebih sering dan teratur.
c) Pastor
Paroki (pelayan Gereja) perlu sekali menanamkan dalam diri umat kesadaran akan
pentingnya merayakan Sakramen Tobat secara pribadi. Tentu saja hal ini menuntut
kesediaan para imam untuk menerimakan Sakramen Tobat kapan saja umat memintanya
secara wajar (bdk. Katekismus Gereja Katolik, No. 986).
d) Penyadaran
akan kelemahan dan dosa serta penelitian batin perlu dibudayakan; juga ibadat
tobat bersama pada kesempatan-kesempatan tertentu, misalnya kesempatan retret,
rekoleksi, Adven, Prapaskah, dan sebagainya.
e) Sakramen
Tobat adalah salah satu keunggulan dan kekhasan Gereja Katolik, yang tidak
dimiliki oleh Gereja-Gereja Protestan. Kita sendiri harus menghargainya secara
baru dan merayakannya secara lebih intens. Melalui Sakramen Tobat, bilur-bilur,
penyakit, dan luka-luka dosa kita disembuhkan oleh Allah yang Mahabelaskasih.
Pengampunan dan penyembuhan-Nya sungguh konkrit dan nyata.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Majalah,
Kamus, dokumen dan Internet
Apa itu didache? Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Didache. diakses pada
tanggal 1 januari 2013, pukul 20.00.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustka, 1990.
Hardawiryana, R. Sj. (terj). Dokumen
Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor, 1993.
“Sakramen Tobat,” Ensiklopedi
Indonesia. Jakarta: PT. Delta Pamungkas, 2004.
Suwandi, Alex. Pr.
“Penyembuhan Dalam Sakramen Pengakuan Dosa,” Rohani, 114-120
(Maret, 1995).
2. Buku-buku
Crichton, J. D. and
Komisi Liturgi KWI. Perayaan Sakramen Tobat. Yogyakarta:
Kanisius, 1990.
Djono Moi, Alberto A. O.carm. Jalan
Kepada Allah. Malang: Dioma, 2000.
Kirchberger, George. Allah
Menggugat, Sebuah Tinjauan Dogmatik. Maumere: Ledalero, 2007.
MacManus, Jim. The
Healing Of Power Sacraments. Notre Dame: Ave Maria Press, 1984.
Mali, Benyamin M. Metanoia Kembali
Kepada Allah. Jakarta: Immaculata Press, 2003.
Martasudjita, E. Pr. Sakramen-Sakramen
Gereja, Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius,
2003.
Pilarczyk, Daniel E. Uskup Agung. Beriman
Katolik. Jakarta: Obor, 2002.
Sujoko, Albertus. MSC. Praktek
Sakramen Tobat Dalam Gereja Katolik, Tinjauan historis, dogmatis dan pastoral.
Yogyakarta: Kanisius, 2008
Scanlan, Michael. The Power in Penance.
Notre Dame: Ave Maria Press, 1972.
Suwandi, Alex I. Pr. Penyembuhan
Dalam Sakramen Tobat. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Komentar
Posting Komentar